Makassar - Penjabat Gubernur Sulsel, Prof Zudan Arif Fakrulloh menceritakan bagaimana prosesnya meniti karir mulai dari nol, bahkan pernah gagal 15 kali mengikuti seleksi mulai dari BUMN, Bank, dan di Kementerian Keuangan RI. Dirinya juga mengaku pernah dimarahi saudaranya karena tidak bisa membantu kelulusan masuk sebagai pegawai negeri, padahal dirinya sudah menjadi Dirjen Kementerian.
"Saya dibisikin saudara saya untuk masuk pegawai dan tidak lolos, kemudian dia marah sama saya, masa punya adik Dirjen, dititip pegawai aja gagal," tutur Prof Zudan saat bedah buku berjudul "365 Hari di Tanah Mandar Menebar Cinta, Kasih dan Sayang Melalui Program Pemerintah".
Saat itu, kata Prof Zudan, ia bertanya kepada saudaranya. "Kemudian saya tanya kamu berapa kali gagal? Dijawab saudara saya baru satu kali," ujarnya.
"Oh kamu baru satu kali, saya sudah 15 kali gagal. Yang dilihat itu berhasilnya, masuk S2 berhasil, masuk S3 berhasil, kemudian guru besar umur 35 tahun, tapi itu berhasilnya saya selalu cerita yang membuat orang Bahagia, yang sedihnya saya simpan sendiri," cerita Prof Zudan.
Menurut Prof Zudan, keberhasilan selalu menjadi penilaian pertama. Padahal katanya, dibalik keberhasilan ada kegagalan yang berkali-kali dari semua prosesnya.
"Saya itu berkali-kali tes itu gagal. Tapi saya percaya Tuhan punya rencana lain yang jauh lebih baik," tuturnya.
Bedah Buku 365 Hari di Tanah Mandar Menebar Cinta, Kasih dan Sayang Melalui Program Pemerintah yang digelar di Aula Tudang Sipulung, Rumah Jabatan Gubernur Sulsel, Minggu 27 Oktober 2024, dihadiri Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Andi Pangeran Moenta sebagai narasumber. Kemudian dihadiri juga penulis buku, Adi Arwan Alimin. Buku tersebut diterbitkan langsung Rajawali Persada.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Provinsi Sulsel, Jufri Rahman, mengapresiasi buku yang ditulis oleh Adi Arwan Alimin dan diterbitkan oleh Rajawali Persada tersebut. Menurutnya, buku ini sangat bagus karena berisi rangkuman kebijakan yang telah dilakukan Prof Zudan ketika menjabat sebagai Pj Gubernur Sulbar.
"Termasuk tentang kendala apa yang dihadapi waktu itu serta bagaimana solusinya. Sehingga saya kira ini bisa menjadi buku pintar bagi para penjabat gubernur di masa depan," ucapnya.
Buku ini, kata Jufri, mengingatkan dirinya tentang catatan sejarah Indonesia di masa lampau. Dimana setiap gubernur jenderal wajib membuat memori jabatan untuk diserahkan kepada gubernur jenderal penggantinya.
"Saya itu tidak heran kenapa Indonesia dulu setiap gubernur jenderal Belanda itu diwajibkan untuk membuat memori jabatan yang diserahkan kepada gubernur jenderal penggantinya, karena dalam memori jabatan itu berisi catatan-catatan penting tentang masalah-masalah besar yang pernah dihadapi. Saya kira seperti ini mereka menuliskan sejarah," pungkasnya. (*)