Dinas Komunikasi Informasitka, Statistika, dan Persandian Provinsi Sulawesi Selatan
Jl. Urip Sumoharjo No.269, Makassar, Sulawesi Selatan
18 Jul 2024
Oleh Sultan Rakib
Sekretaris Dinas Kominfo-SP Sulsel
UNDANG Undang Informatika Transaksi Elektronik (ITE) belum lama ini disahkan dengan UU nomor 1 tahun 2024. Perubahan kedua pada UU ITE Nomor 11 tahun 2008 setelah UU ITE nomor 19 tahun 2019 telah mengalami transformasi atau perubahan pada sisi delik umum menjadi delik aduan, dan ancama hukuman dari lima tahun menjadi dua tahun.
Meski UU ITE ini telah berubah dan sudah lumayan “ringan” dibanding sebelumnya, namun masyarakat yang menjelma menjadi netizen sebaiknya tetap waspada atas jerat UU ITE ini.
Kebebasan berpendapat memang penting dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara demokrasi. Namun, etika dan sopan santun yang diatur dalam UU ITE ini jauh lebih penting untuk diterapkan. Ini bukan soal ancaman hukuman, tapi ini soal etika moral dan perilaku yang menyertainya.
Dalam sebuah seminar nasional yang dilakukan mahasiswa yang bergabung dalam Parlemen Kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) belum lama ini, mengambil tema Kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial yang bertanggung jawab: Tinjauan UU ITE, kebetulan penulis dipercayakan sebagai salah satu narasumber.
Dalam materi dan pemaparan saya, tentu tidak membahas banyak teknis yang terkandung dalam UU ITE, maklum, penulis bukan ahli hukum. Ya, paling tidak, penulis tahu secara garis besar keberadaan UU yang ditakuti para natizen kritis di Indonesia.
Materi, penulis beri judul “Jangan Biarkan Jempol Mengalahkan Pikiranmu.” Ya, keberadaan saya dalam seminar itu memang sesuai kapasitas saya, mengedukasi adik adik mahasiswa agar bijak bersosial media, pintar bersosial media, sehingga ancaman UU ITE tidak dilanggar.
Sejatinya, UU ITE tidak perlu ada, andai semua netizen Indonesia berada pada kelas Log10.000. Maksudnya?
Jadi begini, penulis mengklasifikasikan kelas atau level netizen dalam bersosial media. Kelas 2 + 2 adalah kelas dimana netizen yang sopan dalam bersosial media karena takut dengan UU ITE. Jadi kelas ini, jika tidak ada UU ITE mama mereka akan “barbar” dalam bersosial media.
Level berikutnya, adalah Kelas Akar 16, kelas ini adalah, netizen yang dalam proses bersosial media tetap sopan karena takut mempermalukan dirinya sendiri jika terjerat UU ITE. Memikirkan anak isteri, memikirkan orangtua. Betapa malunya dirinya dan orangtuanya jika mereka terjerat dan disel oleh penegak hukum karena pelanggatn UU ITE.
Level selanjutnya, adalah Kelas Log10.000. Kelas ini lebih mendalam pikirannya. Netizen yang masuk dalam kelas Log10.000 ini adalah mereka yang tiak akan tersentuh oleh UU ITE atas kesadaran diri sendiri. Kelas Log10.000 ribu berpikir bahwa kita ini semua (seluruh netizen) ada dan hidup di dunia ini atas kehendak Tuhan yang maha esa. Dan dalam agama Islam, kita diajarkan untuk memperbaiki hubungan diri kita (manusia) dengan Tuhan dan memperbaiki hubungan antar manusia dengan manusia.
Maka, di circle Kelas Log10.000 tidak akan ada yang namanya hate speech (ujaran kebencian), provokasi, pernyataan berbau sara, menyebarkan berita bohong (hoax), maka sejatinya tak akan ada yang namanya UU ITE. Karena kelas di level ini sadar benar keberadaannya, hak dan kewajibannya sebagai manusia di tengah manusia lainnya.
Kelas 2+2, Kelas Akar 16 dan Kelas Log10.000, jika dalam penyelesaian matematika ini menghasilkan nilai sama yakni nilai 4. Namun, proses mencapai nilai 4 ini memiliki depply meaning, sehingga meski nilainya sama, namun implementasi dan dasar pemikiran masing masing kelas ini berbeda.
Begitu juga dengan pengendara motor yang wajib menggunakan helem saat melakukan perjalan di jalan raya. Masyarakat yang masuk Kelas 2+2 adalah pengendara motor yang menggunakan helem saat berkendara karena takut polisi yang berdiri di jalan. Sedangkan pengendara yang ada di level Akar 16, mereka menggunakan helem ingin selamat karena mereka tidak mau orang kesayayangannya; anak istri dan lain sebagainya kehilangan dirinya hanya karena tidak memakai helem akibat kecelakaan lalu lintas.
Lalu bagaimana dengan Kelas Log10.000 dalam penggunaan helem berlalu lintas? Kelas Log10.000 ini menggunakan helem saat berkendara karena mereka sadar bahwa tubuh yang membungkus raganya adalah rahmat dan anugerah dari Allah Subhanahu wataalah, yang harus dijaga dengan baik sebagai karuniaNya.
Ini bukan soal keselamatan semata, ini soal kewajiban kita menyukuri nikmat dan rahmatNya sehingga menjadi kewajiban kita menjaganya atas dasar rahmat Allah Subahanahu wataalah.
*Saring Sebelum Sharing*
Literasi digital yang berpatokan pada UU ITE mewajibkan negizen menggunakan 3S dalam bersosial media. Saring Sebelum Sharing. Ya, semua yang diterima di sosial media belum tentu benar, maka kewajiban kita adalah menyaring apa yang masuk, jika benar maka silkan share atau bagi, jika meragukan apalagi tidak benar hapus saja, cukup sampai di gadget Anda saja.
Lalu ada pertanyaan. Bagaimana melanisme “saring” itu? Karena alat ukur saring itu adalah verified by it self. Mekanisme Saring tentu berbeda masing masing netizen. Saring itu sangat ditentukan oleh insight atau wawasan masing masing individu.
Individu yang bagus nilai saringnya, karena mereka memiliki pengetahuan literasi digital yang baik. Sedangkan bagi netizen yang memiliki tingkat literasi digital rendah maka itulah yang rawan terkena hoax. Rawan pula terjerat UU ITE.
Dari itu, maka untuk meningkatkan kadar saring kita, yang mesti diperkuat adalah wawasan kita. Baik wawasan politik, sosial, bidaya dan hal hal lainnya. Mengembangkan wawasan kita ya dengan cara membaca. Membaca apapun, dan selalu memperhatikan media mainstream , TV, media online resmi baik nasional maumpun lokal. Bukan media abal abal.
Dengan literasi yang cukup, maka kemampuan menganalisa kita akan kuat pula yang pada gilirannya kita akan resisten terhadap isu hoax dan sejumlah praktik negatif di dunia maya. Salam literasi digital. Jaga ruang ciber.!